Jumat, 23 November 2007
SEJARAH GRAFIS INDONESIA

( Masa Awal Kemerdekaan )



AWAL IKLAN-IKLAN LAYANAN MASYARAKAT

Kemenangan Sekutu pada tahun 1945, tentu saja berarti pula segera kembalinya situasi ekonomi maupun periklanan seperti masa pra pendudukan Jepang. Beberapa iklan pertama yang muncul di suratkabar memuat himbauan membantu dana bagi berbagai kebutuhan mendesak pada masa pasca kemerdekaan. Dana yang dihimpun dari iklan-iklan ini umumnya dimaksudkan untuk membantu tiga hal penting, yaitu:

  • Melanjutkanperjuangan mempertahankan kemerdekaan.
  • Pembangunan atau perbaikan sekolah, dan
  • Mengaktifkan BPKKP. (49)

(49) Kedaulatan Rakyat, 3 Februari 1946.

Iklan-iklan tersebut tercatat sebagai jenis iklan-iklan layanan masyarakat pertama dalam sejarah periklanan Indonesia.

Perjuangan memenangkan perang sebagai pemicu lahirnya layanan masyarakat di Indonesia itu, ternyata mirip dengan yang terjadi di Amerika Serikat tahun 1939. Hanya saja, praktisi periklanan Amerika menggunakan iklan layanan masyarakat ini lebih untuk membantu para korban bangsa Amerika dalam Perang Dunia I. Selain iklan - iklan penghimpun dana, di Indonesia saat itu praktis hanya terdapat iklan-iklan yang menawarkan jasa perbaikan radio dan alat-alat kantor. Memang banyak sekali barang-barang yang rusak akibat peperangan atau perebutan kembali oleh anggota masyarakat terhadap barang-barang yang dikuasai anggota tentara Jepang.

IKLAN KELUARGA

Ciri lain dari periklanan di masa awal kemerdekaan adalah banyaknya iklan ucapan belasungkawa atau ucapan terima kasih dari keluarga yang kehilangan sanak saudaranya, seperti contoh berikut:

Keloearga dan sanak saoedara dari almarhoem pahlawan kemerdekaan:
R. Aluisius Soemardjono mengatoerkan
diperbanjak terimakasih atas penghormatan dan soembangan pada

djenazahnja R.A. Soemardjono, apa lagi atas oetjapan
toeroet berdoeka tjita pada kami semoea. (50)

(50) Merdeka, 11 September 1946

Dari sisi lain, banyaknya iklan belasungkawa ini juga telah ikut mengangkat solidaritas rakyat untuk mempertahankan kemerdekaan.

Sementara itu, iklan pertama yang menawarkan produk pada masa ini adalah untuk bahan kebutuhan pokok masyarakat, seperti kain dan sabun. Meskipun demikian, penggarapan pesannya masih meniru pola masa pendudukan Jepang, yang hanya memanfaatkan unsur verbal, dan kurang memikirkan aspek persuasinya. Tarif pemasangan iklan di masa itu adalah rata-rata f.2,50 per baris. Harga langganan sebulan adalah sekitar f.3,50.

MENGHIMPUN DANA UNTUK KEMERDEKAAN

Munculnya iklan-iklan penghimpunan dana dan memuncaknya solidaritas dan rasa kebangsaan telah melahirkan gagasan pada praktisi periklanan untuk ikut membantu dana perjuangan lebih jauh lagi. Yaitu dengan mengenakan f.1,- pada setiap iklan sebagai "dana kemerdekaan". Tidak terdapat catatan tentang lamanya aturan itu dilaksanakan, maupun besarnya dana yang dapat dihimpun. Meskipun langkah iklan-iklan produk pada masa itu, menyebabkan dana yang dihimpun dari pengenaan surcharge langsung pada iklan-iklan tersebut diduga tidak besar, namun itikad para praktisi periklanan ini sangat dihargai. (51)

(51) Penghela Rakyat, 8 Agustus 1946.

MUNCULNYA USAHAWAN BESAR

Situasi "kelangkaan iklan produk" ini agak berubah pada tahun 1949, saat mulai bermunculannya kelompok usahawan besar pribumi. Beberapa nama terkenal saat itu adalah Agoes Dasaad, Djohan Soetan Soelaman, Djohor Soetan Perpatih, Rahman Tamin, dan Hadji Abdul Ghani Aziz. Meskipun usaha mereka sebenarnya sudah dirintis sejak 1920-an atau 1930-an. Terhambatnya perkembangan usaha mereka utamanya disebabkan oleh embargo yang dilakukan Belanda pada perdagangan luar negeri Indonesia.
Meskipun demikian, hambatan ini dapat ditanggulangi oleh para usahawan Indonesia dengan melakukan perdagangan langsung secara sembunyi-sembunyi ke dan dari Singapura atau Malaya (sekarang Malaysia).

Cara lain yang mereka gunakan adalah dengan memanfaatkan iklan-iklan, walaupun terpaksa hanya dapat dilakukan dalam skala kecil dan sederhana. Selain itu, perusahaan-perusahaan pribumi ini mulai pula memperkenalkan pentingnya kemasan bagi produk-produk konsumen. Utamanya dalam keadaan ekonomi yang sulit. Sebuah tulisan pada suratkabar Kedaulatan Rakjat, Yogyakarta, menyebutkan:

... Boeat kemadjoean perdagangan jang perloe pake boengkoesan enz, jang perloe pake etika dan sebaginja, soela warna ada pegang rol amat penting. Pendjoealan ada bergantoeng banjak dengan kleur yang terpilih betoel, maka djangan alpa boeat pake kleur-kleur yang setimpal... (52)

(52) Kedaulatan Rakyat, 5 Juli 1948.


MULAI MERAMBAK KEMBALI

Situasi ekonomi yang sulit memang menyebabkan banyaknya iklan yang menawarkan ekonomisasi dalam pembelanjaan ataupun kehidupan sehari-hari masyarakat. Iklan berikut dimuat di suratkabar Merdeka, 10 Juli 1948 Jakarta:

Hematkan Ongkos Pakean.
Njonja-njonja en nona-nona bisa bikin Costume dan laen-laen pakean sendiri dengen gampang en ongkos moerah. Ambil Les pada Costuum School Maison Gouw Molenveit Oost 76- Batavia.

Tetapi, banyaknya iklan-iklan dari penjahit dan kursus ternyata menjadi awal bagi bangkitnya kembali iklan-iklan komersial di Indonesia. Pemicu banyaknya iklan-iklan jahit-menjahit ini juga datang dari kebutuhan mendesak para anggota laskar Indonesia. Di masa agresi Belanda pertama dan kedua, pakaian para laskar Indonesia, selain diperoleh dengan merebut pakaian tentara Jepang, juga dibuat baru dengan bantuan penjahit-penjahit kecil yang telah melakukannya sejak sebelum Perang Dunia II. Penjahit-penjahit ini pun aktif memasang iklan, sehingga dengan sendirinya ikut pula menghimpun sumbangan f.1,- untuk setiap iklan yang dimuat, sebagai "dana kemerdekaan". (53)

(53) Antara, 1 Februari 1949.

Menyusul setelah iklan-iklan jahit-menjahit itu, mulai muncul iklan produk-produk baru, seperti minyak goreng, bir kalengan dan papan tripleks. Produk-produk ini utamanya banyak terlihat di saat setelah tercapainya kesepakatan antara Indonesia dan Belanda dalam KMB (Konferensi Meja Bundar).

Menarik untuk disimak, bahwa terdapat beberapa rincian tentang besarnya devisa langsung yang diperoleh dari sub sektor periklanan. Meskipun pada periode awal kemerdekaan, nilai keseluruhan devisa ini tidak berbeda jauh dengan yang diperoleh pada periode pendudukan Jepang, yakni hanya sekitar Rp. 100.000,-. Relatif kecilnya devisa ini mungkin dipengaruhi oleh situasi ekonomi yang tidak menentu. Khususnya dengan perdagangan luar negeri yang terus-menerus diembargo oleh Belanda. Namun catatan mengenai devisa dari subsektor periklanan jadi menarik, karena di jaman modern seperti sekarang pun pemantauan hal ini sangat sulit dilakukan. Embargo perdagangan oleh Belanda baru berakhir ketika ditanda-tanganinya perjanjian KMB.
posted by Ustad Rohman @ 07.18  
0 Comments:
Posting Komentar
<< Home
 
 
Aq adalah anak s1 DKV 15 Dinus coba belajar tuk berkarya email : men_demak@telkom.net
mengenai aq
Arsip Kemarin
Simpenan
Motto Hidup
"Hidup terasa hampa tanpa ilmu, iman dan taqwa sebagai buktinya.
situs favorit
km pengunjung ke
free hit counter
WIB menunjukkan jam ....
© Mbah Man